31/12/13

Ujian Keimanan

Tadabbur QS: Al-Baqarah; 214

Allah berfirman; "Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, sebelum datang kepada kalian cobaan yg menimpa umat sebelum kalian? Mereka ditimpa kesusahan, penderitaan dan digoncang dgn berbagai cobaan dan ujian, sampai-sampai Rasul dan org-org yg beriman bersamanya berkata; "kapan akan datang pertolongan/kemenangan dari Allah?, katakan sesungguhnya pertolongan dan kemenangan itu sudah dekat"(Al-Baqarah; 214)
Bila melihat kondisi ujian dakwah sekarang, maka ayat ini seakan turun untuk menjawab dan mengilustrasikan kondisi umat Islam saat ini, mari kita renungi beberapa ibrah dlm ayat ini:
1. Ayat ini menginformasikan kondisi ujian dan fitnah dahsyat yang dihadapi Rasulullah dan Umat Islam, sampai-sampai seorang Rasulpun bertanya "kapan pertolongan Allah datang" karena seluruh kemampuan dan usaha sebagai manusia untuk menghadapi fitnah dahsyat itu telah dilakukan, sementara pihak musuh terus melakukan penyiksaan, penangkapan dan pembunuhan seakan pihak musuh semakin kuat dan tidak terkalahkan, tapi pada detik-detik seperti ini, Allah memberikan kabar gembira, bahwa kemenangan sebenarnya sudah sangat dekat, Allah sengaja ingin melihat puncak kesabaran hambaNya sehingga layak mendapat kemenangan dariNya.
2. Terkadang Allah sengaja memperlihatkan kehebatan musuh pada umat Islam, seakan mereka tidak terkalahkan, kemampuan umat tidak mampu melawan musuh dan seterusnya, bahkan melahirkan keputusasaan, tujuannya adalah agar umat tidak lagi mengandalkan kemampuan diri sendiri dan semua materi dunia yg mereka andalkan selama, kecuali hanya pada Allah swt. Dahsyatnya penderitaan digambarkan oleh Allah dalam surat Yusuf: 110 "sehingga para Rasul itu berputus asa dan mengira mereka akan didustakan..". Ibnu Zubair bertanya kepada Aisyah ra, Apa maksud ayat ini? Aisyah ra menjawab "Para Rasul itu tidak berputus asa, tapi karena cobaan dan goncangan penderitaan dan siksaan yang dihadapi umat saat itu luar biasa hebatnya, maka para Rasul itu takut para pengikutnya tidak sabar dan berbalik mendustakannya" (HR: Bukhari) pada saat kekhawatiran para qiyadah bukan lagi pada dirinya dan keluarganya, dalam menghadapi ujian di jalan dakwah, tapi kekhawatiran itu kepada kemampuan spiritual dan psikologis kader dan umat yang mungkin tidak mampu menghadapi fitnah, maka pada saat-saat seperti ini Allah akan menurunkan pertolonganNya.
3. Kemenangan itu menurut  Allah swt, bukanlah sesuatu yang sulit dan jauh serta tidak terjangkau, kemenangan itu menurut Allah adalah pasti dan waktunya sangat dekat dan bisa Dia berikan kepada umat dan para Da'I kapan saja, namun karena ujian yang berat goncangan penderitaan yg hebat, maka seakan-akan kemenangan dan pertolongan Allah swt itu menjadi lama, bahkan menimbulkan keputusasaan, sebagaimana surat Yusuf:110 di atas
4. Pertolongan Allah dan kemenangan yg dijanjikaNya adalah suatu kepastian, namun Allah ingin melihat kapan syarat-syarat kemenangan dan pertolonganNya terpenuhi oleh para Da'I dan hambaNya, dan syarat itu tidak pernah melampaui kemapuan dan kekuatan manusia memikulnya, firman Allah: "Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dgn kemampuannya", maka kapan syarat-syarat itu tercapai, saat itu pula pertolongan Allah dan kemenangan akan datang.
5. Allah menjelaskan bahwa mengapa tidak mudah begitu saja memberikan kemenangan dan pertolongan kepada hambaNya, padahal mereka sudah disiksa, diusir, ditangkap dan dipenjara bahkan dibunuh? Karena surga yang Allah janjikan memang sesuatu yg tidak murah dan main-main, surga yang Allah janjikan adalah sesuatu yang sangat mahal dan berharga, yang dapat menghapus seluruh penderitaan di dunia ini dalam sekejap dan menggantinya dengan kebahagiaan dan nikmat yang abadi.
6. Ujian dan penderitaan dalam gerakan dakwah, bukanlah hal baru dalam Islam, bahkan penderitaan dan penyiksaan dalam dakwah sudah ada setelah Allah menurunkan Nabi Adam kedunia, oleh karenanya selama kehidupan dunia berlangsung dan  Al-Hak dan Al-Batil masih ada maka ujian, cobaan dan penderitaan tetap akan ada, sampai hari kiamat, demikian pula kemenangan dan pertolongan Allah juga akan tetap berlangsung.
Wallahu a'lam..

Oleh: Khairan M. Arif

Menjadi Kader "Laa Syai" (Dianggap Nothing)

Dalam setiap perjuangan berjamaah, kita diperlihatkan pelbagai fragmen tipe-tipe pejuang. Ada pendiri sebuah ormas-parpol-yayasan-jamaah-komunitas-DKM, namun kemudian menjadi "musuh" dan lawan antagonis yang membenci secara simultan. Berawal dari cinta tidak ada matinya, di kemudian hari berubah menjadi benci tiada henti!

Ada juga fragmen pribadi yang dianakemaskan, dibina dengan sentuhan-sentuhan tangan magis, "dibesarkan", "ditokohkan", bahkan "diberi ruang gerak yang lebih". Namun di kemudian hari, ia menjadi The Jobwhat. Tidak mengerti apa yang harus dilakukan dan misi apa yang harus diperjuangkan. Di awal ia selalu di depan! Namun pada akhirnya ia menjadi yang selalu ketinggalan!

Di sisi lain ada juga jiwa-jiwa yang di awal hingga akhir tetap utuh. Tak terlalu nampak perubahan mencolok. Secara karir biasa-biasa saja. Posisi pun tidak berubah. Terkadang ikut rombongan untuk naik level, tapi sekali lagi ia biasa-biasa saja. Prinsipnya menjadi garam di masakan. Wujudnya tak terlalu nampak di struktur, tak terlihat di spanduk-spanduk, tak terpampang di baliho-baliho. Namun perannya dirasakan ada, walau ia dianggap biasa!

Nah ada yang dari awal ia adalah pribadi yang laa syai (nothing). Namun ia terus bersabar ... terus bersabar ... dan mereguk lautan makna dari asam manis garam kehidupan. Ia tak terdorong untuk mencaci saat samudera dakwah itu nampak kotor di permukaan. Sampah berserakan. Bahkan tak sedikit bangkai ikan yang bertebaran! Ia hanya terus bertahan. Karena bagi dirinya, samudera yang kotor sekalipun jika terus fokus dalam misi dan visi, akan tetap bermanfaat mengantarkan kapal ke buritan. Maka jangan aneh, bila suatu saat nanti tipe-tipe kader Laa syai inilah yang di kemudian hari menjadi kullu syai!

Sahabat, mari kita renungi. Bukankah kita menemukan, orang yang dahulu merekrut kita menjadi bagian dari dakwah ini, namun di kemudian hari ia menjadi provokator dan penyebar kebencian terhadap kita sendiri.

Bukankah kita terkagetkan, dengan ikhwan-akhwat yang dahulu sangat taat dan ketat dengan prinsip. Namun kini ia malah menjadi pribadi yang berpakaian ketat. JIka ia akhwat, ia tak lagi memperlakukan suami dengan hormat. Jika ia ikhwan, ia tak mampu membimbing istri dan keluarganya menjadi ahli akhirat. Malah tak sedikit keluarga yang dipilih dari rahim dakwah, namun di kemudian hari biduk rumah tangga itu pecah! Bukankah perceraian kini di kalangan aktivis dakwah menjadi hal lumrah?

Kini kita paham, berada dalam gerbong dakwah itu tidak terlalu penting apakah kita masuk di awal atau paling ujung. Tidak terlalu penting apakah kita menjadi koordinator, menjadi masinis, atau menjadi tukang karcis. Toch masinis itu hanya 1-2 orang saja.

Yang terpenting adalah, kita mampu menggali potensi terbaik diri kita. Jika ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, maka niatkan Lillaahi Ta'ala. Biarkan pahala Allah saja yang diharap. Oleh karena itu, kita tidak akan pernah "mundur" saat ditegur. Marah saat diberi taushiah. Ilfil saat tak jadi calon di DAPIL. Keluar saat ide-ide kita tidak dianggap mercusuar. Mari menjadi pribadi yang tidak bersedih karena tidak dihargai. Tapi bersedih, karena diri kita tidak berharga!

By: Nandang Burhanudin

26/12/13

Hikmah Cinta, Kerja & Harmoni

قَالَ بَعْضُ الْحُكَمَاءِ :
وَصَاحِبُ الدُّنْيَا يَطْلُبُ ثَلَاثًا لَا يُدْرِكُهَا إِلَّا بِأَرْبَعَةٍ: فَأَمَّا الثَّلَاثَةُ الَّتِيْ يُطْلَبُ، فَالسَّعَةُ فِي الْمَعِيْشَةِ، وَالْمَنْزِلَةُ فِي النَّاسِ، وَالْمَنْزِلَةُ فِي الآخِرَةِ. وَأَمَّا الْأَرْبَعَةُ الَّتِيْ يُدْرَكُ بِهَا الثَّلَاثَةُ: فَاكْتِسَابُ الْمَالِ مِنْ أَحْسَنِ وُجُوْهِهِ، ثُمَّ حُسْنُ الْقِيَامِ عَلَيْهِ، ثُمَّ التَّثْمِيْرُ لَهُ، ثُمَّ إِنْفَاقُهُ فِيْمَا يُصْلِحُ الْمَعِيْشَةَ، وَيُرْضِي الْأَهْلَ وَالْإِخْوَانَ، وَيَعُوْدُ فِي الآخِرَةِ نَفْعُهُ، فَإِنْ أَضَاعَ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ، لَمْ يُدْرِكْ شَيْئًا مِنَ الثَّلَاثَةِ، وَإِنْ لَمْ يَكْتَسِبْ، لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ يَعِيْشُ بِهِ، وَإِنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَاكْتِسَابٍ وَلَمْ يُحْسِنْ اَلْقِيَامَ عَلَيْهِ، يُوْشِكُ أَنْ يَفْنَى وَيَبْقَى بِلَا مَالٍ، وَإِنْ هُوَ أَنْفَقَهُ وَلَمْ يُثَمِّرْهُ، لَمْ تَنْفَعْهُ قِلَّةُ الْإِنْفَاقِ مِنْ سُرْعَةِ النَّفَادِ، كَالْكُحْلِ الَّذِيْ إِنَّمَا يُؤْخَذُ عَلَى مِثْلِ الْغُبَارِ، ثُمَّ هُوَ مَعَ ذَلِكَ سَريْعٌ نَفَادُهُ، وَإِنْ هُوَ أَصْلَحَ وَاكْتَسَبَ وَثَمَّرَ، ثُمَّ لَمْ يُنْفِقْ اَلْمَالَ فِيْ أَبْوَابِهِ، كَانَ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لَا مَالَ لَهُ، ثُمَّ لَا يَمْنَعُ ذَلِكَ لَهُ مِنْ أَنْ يُفَارِقَهُ، وَيَذْهَبَ حَيْثُ لَا مَنْفَعَةَ فِيْهِ، كَحَابِسِ الْمَاءِ الَّذِيْ تُنْصَبُّ فِيْهِ اْلِمَياهُ، إِنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا يَدْخُلُ فِيْهِ، نَصَلَ وَسَالَ مِنْ نَوَاحِيْهِ فَيَذْهَبَ ضَيَاعًا.
Seorang bijak berkata:
Pemilik dunia mencari 3 hal, namun, ia tidak didapat kecuali dengan 4 hal:
Tiga hal yang dicari yaitu:
1.      Keluasan (melimpahnya dunia) dalam kehidupan.
2.      Kedudukan di mata manusia.
3.      Kedudukan tinggi di akhirat.
4 hal yang dimaksudkan untuk mendapatkan 3 hal di atas adalah:
1.      Berusahalah dalam mendapatkan harta dengan cara yang terbaik.
2.      Perbaikilah tatakelola harta.
3.      Pandai-pandailah dalam mengembangkan harta.
4.      Belanjakanlah harta dalam hal-hal yang memperbaiki kehidupan, membuat ridha keluarga dan saudara, serta memberi manfaat di akhirat.
Jika keempat hal ini diabaikan dan disia-siakan, niscaya ia tidak akan mendapatkan tiga hal di atas, sebab:
1.      Jika ia tidak berusaha, maka ia tidak akan mendapatkan harta untuk kehidupannya, dan
2.      Jika ia mempunyai harta dan usaha, namun ia tidak baik dalam tata kelolanya, maka bisa jadi harta itu akan habis, lalu ia tidak lagi memiliki harta, dan
3.      Jika ia membelanjakan hartanya dan tidak mengembangkannya, maka lama-lama harta itu akan habis juga, meskipun belanjanya sedikit. Ia mirip dengan alkohol, yang tidak boleh diambil kecuali dalam kadar sedikit saja semisal debu, namun, yang namanya alkohol, ia mudah menguap dan cepat habis, dan
4.      Jika ia telah berusaha, mengelola dan mengembangkan, namun tidak membelanjakannya pada tempat yang tepat, maka seakan ia tidak memiliki harta. Juga, ketidak piawaian dalam membelanjakan harta, akan membuat harta itu meninggalkannya, serta pergi dalam hal-hal yang tiada guna, ia mirip dengan seseorang yang menahan air yang tumpah, jika yang keluar darinya tidak sepadan dengan yang masuk, niscaya air itu akan pergi, merembes dan tidak tersisa lagi.

Jangan “Mati Gaya” Di Hadapan Promotor Kemungkaran

Seringkali kita dihadapkan pada sebuah kenyataan dimana kemungkaran dipromosikan secara terbuka. Kemungkaran yang oleh sebagian orang dipahami sebagai perbuatan yang kalaupun ada yang berani melakukannya, maka dia dilakukan secara tersembunyi, itupun masih panas dingin. Namun kini mereka sudah menyatakan resmi menganut ideologi Iblis; “Kalo saya sesat, maka orang lain pun harus sesat!” Jadilah dia promotor kemungkaran.

Di antara senjata ampuh yang sangat mereka andalkan sejak dahulu dan apalagi sekarang adalah membentuk opini yang dapat melemahkan daya pikir masyarakat dan akhirnya secara bertahap masyarakat digiring pada sikap dan keinginan yang mereka bentuk. Dibuatlah berbagai alibi dan teori yang sekilas tampak ilmiah dan solutif, padahal dibalik itu menyimpan kebusukan yang sangat menyengat. Kekufuran mereka tawarkan atas nama kebebasan berfikir dan berkeyakinan, free seks mereka jajakan atas nama seks sehat dan pencegahan AIDS, kemusyrikan disuguhkan atas nama seni dan budaya, dll. Sementara di sisi lain, secara sistematis dan massif dengan berbagai sarana media dan dukungan dana  tak terbatas, mereka berupaya menyudutkan orang-orang yang ingin komitmen mengamalkan agamanya. Berbagai isu mereka angkat; Terorisme, islam militant, Islam arab, wahabi, Islam transnasional, Islam garis keras, Islam politik, dll.  Jika diperhatikan dengan seksama, semua itu tak lain upaya untuk ‘menggertak’ umat agar jangan ‘terlalu akrab’ dengan agamanya dan membelanya.

Di sisi lain, banyak di kalangan umat ini yang ‘terhenyak’ menyaksikan gempuran demi gempuran para promotor kemungkaran, sehingga mereka menjadi ‘mati gaya’, seperti tidak dapat berbuat apa-apa selain ‘ngelus-ngelus dada’. Di sisi lain, ada sebagian pihak yang menempatkan sifat-sifat  kelembutan dan sopan santun dalam masalah ini bukan pada tempatnya.

Maka lengkaplah sudah setting yang mereka inginkan, promotor kemungkaran tampak sangat militan dan di atas angin berhadapan dengan orang-orang baik yang lemah tanpa mau berbuat apa-apa selain keselamatan dirinya. Inilah yang dikhawatirkan oleh Umar bin Khatab radhiallahu anhu yang terungkap dalam doanya,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَلَدِ الْفَاجِرِ وَعَجْزِ الثِّقَةِ

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari militansi orang durhaka, dan lemahnya orang-orang baik.”

Di alam bebas seperti ini dan saluran komunikasi dan informasi terbuka lebar, sudah tidak sepantasnya kita mengandalkan pengingkaran dalam hati sebagai langkah penolakan terhadap kemungkaran. Selain itu merupakan gambaran selemah-lemahnya iman, juga karena Rasulullah saw melarang kita untuk tampak lemah di hadapan kekufuran dan kemungkaran. Karena itu, saat pertama kali umrah, Rasulullah saw memerintahkan para shahabatnya untuk membuka pundak kanannya dan berlari-lari kecil saat thawaf, agar orang kafir melihat bahwa kaum muslimin kuat. Hal mana kemudian dikenal sebagai sunah dalam thawaf qudum bagi laki-laki.

Dalam peristiwa perang Uhud, ketika pasukan kaum muslimin terdesak akibat kelalaian pasukan pemanah dan Rasulullah saw terluka, orang-orang kafir ingin merontokkan mentalitas pasukan muslim. Abu Sufyan yang ketika itu masih kafir berteriak, “Mana Muhamad, mana Abu Bakar, Mana Umar?” Maka Umar berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah saya menjawabnya?” Jawab Rasulullah, “Ya”. Maka ketika Abu Sufyan berteriak,

اعْلُ هُبَل
“Hidup Hubal (nama berhala mereka).”

Umar menjawab,

الله أَعْلَى وَأَجَل

“Allah lebih tinggi dan lebih mulia.”

Abu Sufyan balik berkata,

يَومُ بِيَومِ بَدْر، إِنَّ الأَيَّامَ دُوَل، وَإِنَّ الْحَرْبَ سِجَال

“Hari ini pembalasan dari perang Badr, hari-hari silih berganti, perang ada giliran kalah ada giliran menang.”
Umar menjawab,

لاَ سَوَاءَ ، قَتْلاَنَا فِي الْجَنَّةِ ، وَقَتْلاَكُمْ فِي النَّارِ

“Tidak sama, orang yang terbunuh di antara kami masuk surga, orang yang terbunuh di antara kalian masuk neraka.” (dikutip dari riwayat Ahmad dan Hakim)

Lihatlah bagaimana Umar bin Khatab atas izin Rasulullah saw tidak diam menghadapi provokasi orang-orang kafir, bahkan di saat mereka terdesak sekalipun. Lihat pula bagaimana pilihan kata-katanya yang singkat namun berbobot serta tidak menampakkan kelemahan sama sekali. Bahkan Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan bahwa peristiwa tersebut sebagai kemenangan yang istimewa.

Harus kita bedakan antara orang yang berbuat maksiat karena kelalaian atau ketergelinciran. Kepada mereka hendaknya kita nasehati baik-baik, tersembunyi dan tidak dibongkar aibnya dan jangan dicela. Tapi kepada mereka yang terang-terangan mempromosikan kemungkaran, kesesatan dan kekufuran di tengah masyarakat muslim dan sering mengolok-olok nilai-nilai syariat, baik tersirat atau tersurat, tidak ada tempat untuk bersikap lemah lembut kepada mereka, tidak ada tempat untuk menutupi cela dan aib mereka, bahkan seharusnya kedok mereka dibongkar, argument-argument mereka dipatahkan dan celotehan-celotehan mereka harus dibalas tegas. Tidak perlu anarkis, tidak perlu angkat senjata,  tapi bantahlah seruan kesesatan mereka, bergabunglah dalam poros-poros kebaikan, nyatakanlah sikap dan jangan lemah. Inilah medan “perang” kita!

Abu Bakar Ash-Shidiq yang terkenal kelembutannya dan air matanya selalu meleleh, tak dapat menahan amarahnya ketika harus berhadapan dengan para provokator dan promotor kemungkaran. Saat beliau menjadi khalifah dan berhadapan dengan sekelompok masyarakat yang terang-terangan terang-terangan murtad, sebagian lagi terang-terangan menolak membayar zakat, sebagai pemimpin dia memutuskan untuk memerangi mereka. Ketika sebagian shahabat berusaha mencegahnya dengan asumsi bahwa mereka masih muslim, Abu Bakar Ash-Shidiq memberikan jawaban memuaskan hinggga para shahabat menerimanya. Bahkan ketika Umar bin Khatab ikut-ikutan menasehati Abu Bakar Ash-Shiddiq agar bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka dengan tegas Abu menjawab,

جَبَّارٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خَوَارٌ فِي اْلإِسْلاَمِ .  بِمَاذَا أَتَأَلَّفُهُمْ ؟ بِشِعْرٍ مُفْتَعِلٍ أَمْ بِقَوْلٍ مُفْتَرِى ؟!

“(Apakah engkau) perkasa saat masih jahiliah, namun justeru lemah setelah masuk Islam, dengan apa aku berbaik-baik dengan mereka, dengan syair yang dibuat-buat atau dengan ucapan dusta?!”

(Tuhfatu Ash-Shiddiq Fi Fadhli Abi Bakar Ash-Shiddiq, Ali Al-Maqdisi)

Jika promotor kemungkaran berkeliaran di tengah-tengah kita, sementara kita tidak terusik sama sekali untuk menghadangnya, periksalah kembali kualitas iman kita!

NURCHOLISH MADJID dan PERSIS: TIDAK PERLU DIPERTENTANGKAN!

Wawancara dengan Ust. H. Iqbal Santoso, Pimpinan Umum Pondok Pesantren PERSIS Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.
Oleh: Asnawi Ihsan

Selama ini pemikiran Nurcholish Madjid cenderung ditolak oleh kalangan muslim puritan terutama PERSIS (Persatuan Islam) yang juga dikenal sebagai Wahabi-nya Indonesia. Menjadi sangat menarik ketika ada tokoh PERSIS yang secara jujur mengaku terinspirasi oleh Cak Nur dalam melakukan gerakan pembaharuan dan berpandangan bahwa pemikiran cak Nur identik dengan pemikiran keislaman PERSIS, terutama dalam konsep Tauhid. Beliau adalah Ust. H. Iqbal Santoso, Mudirul Am Pondok Pesantren Persis Tarogong Garut dan Anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS.

Untuk menggali lebih dalam topik ini, berikut petikan wawancara Asnawi Ihsan dari Center for Spirituality & Leadership dengan Ust. Iqbal 16 Juli 2006. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan penyusunan biografi Cak Nur yang dikomandani Ahmad Gaus AF.

Pak Iqbal, Siapa yang menginspirasi bapak untuk melakukan pembaharuan di pesantren PERSIS? 
Cak Nur. Almarhum Nurcholish Madjid.


Menarik, karena pak Iqbal kan dari PERSIS dan mengelola pesantren PERSIS. Bagaimana bapak menjelaskan ini?
PERSIS kan dikelompokkan dengan Muhammadiyah sebagai kelompok pembaharuan. Tapi ketika saya melakukan pembaharuan di internal PERSIS justru malah mendapat tantangan yang sangat berat. Bahkan, saya hampir-hampir dikucilkan di PERSIS.


Pembaharuan seperti apa yang bapak lakukan dipesantren PERSIS?
Pertama pembaharuan kurikulum. Dulu orientasi pesantren PERSIS hanya kepada pengajaran (menamatkan) kitab tertentu. Sekarang berorientasi kepada tujuan. Misalnya katakanlah PERSIS itu konsen di bidang pemikiran fikih. Tapi setahu saya, di pesantren PERSIS itu tidak ada kurikulum fikih yang memadai. Kalau siswa tingkat aliyah dikalangan Nahdhiyyin menggunakan Kifayatul akhyar dalam mengkaji fikih, nah di PERSIS itu gak ada. PERSIS hanya menggunakan Bulughul Marom sebagai buku kajian fikih. Padahal Bulughul Marom itu bukan buku kajian fikih, tapi merupakan buku kumpulan hadis dari Ibnu Hajar al-Asqolani.

Selain Bulughul Marom, diajarkan juga kitab Hadis Bukhori. Kitab Hadis Bukhori juga yang dipelajari cuma bab fikihnya saja. Pada satu kesempatan saya bertanya, kenapa tidak ada kitab fikih? Jawabnya kalau di pesantren PERSIS kan tradisinya bagaimana menamatkan sebuah kitab. Sudah selesai sampai disitu.

Ketika saya dipercaya mengelola pesantren Persis maka saya melakukan perubahan. Tidak lagi hanya berorientasi menamatkan sebuah kitab yang itupun kitab yang tidak spesifik dalam membahas tema fikih. Padahal, pokok bahasannya adalah fikih. Saya mencoba melakukan pendekatan tematik dan tidak hanya fokus pada satu kitab saja. Misalnya dalam membahas topik tata cara sholat, maka akan dikaji tata cara sholat itu dari berbagai macam kitab. Sehingga akan mengetahui berbagai pandangan dan perdebatan banyak ulama mengenai sholat. Jadi, kalau melihat ada orang Islam yang cara sholatnya berbeda dengan cara PERSIS tidak perlu didebat karena kita sudah tahu itu pendapat siapa, apa alasan dan dasar hukumnya.

Yang kedua, dalam bidang akidah atau tauhid. PERSIS kan dikenal sebagai Wahabi Indonesia. Tapi sumber-sumber rujukan tauhidnya tidak ada. Akhirnya kami buat kurikulum mengenai tauhid.

Kemudian selain itu juga kita melakukan penyederhanaan kurikulum, dulu jumlah mata pelajaran hampir 30 mata pelajaran. Bahasa arab saja ada beberapa bidang studi. Ada nahwiyah, shorfiyah, i’lal, i’rob, imla’, insya’, dan lain-lain. Sekarang kita sederhanakan jadi bahasa arab saja. Begitu juga Fikih. Ada fara’id, ushul fikih, dan lain lain. Sekarang disatukan jadi Syar’iah, disederhanakan.

Dari segi manajemen kita juga melakukan pembaharuan. Kita berupaya melakukan demokratisasi. Secara tradisional pesantren itu kan lembaga keluarga. Tidak hanya dikalangan Nahdiyyin, di kalangan pesantren PERSIS juga gitu. Saya coba rombak agar lebih demokratis dan transparan. Artinya lebih mengedepankan kemampuan daripada keturunan. Sehingga anda lihat di pesantren saya tidak ada itu keluarga, paling istri saya itu juga karena dia punya kemampuan bukan karena seorang istri. Di struktur organisasi juga, demokratisasi di dalam kelembagaan, lebih transparan. Bahkan saya kira agak susah dicari di pesantren manapun, pimpinan pesantren dipilih oleh guru pakai suara terbanyak. Dulu gak pernah ada itu, ada masa jabatannya juga. Sangat jarang itu.


Dimana titik temu pembaharuan yang dilakukan Cak Nur dengan Tajdid PERSIS sehingga bapak berani melakukan perubahan mendasar dalam mengelola pesantren PERSIS?
Sebetulnya begini, kalau menurut saya tidak ada sesuatu yang baru dari gagasan Cak Nur, kalau boleh saya kutip Azyumardi Azra, Cak Nur itu sebetulnya seorang neotradisionalis muslim. Pembaharuan yang dilakukan Cak Nur sama saja dengan apa yang dilakukan Muhamadiyah dan PERSIS, yaitu kembali kepada Alquran. Coba saja kalau kita baca tulisan-tulisan cak Nur, semuanya sangat quranik, selalu bersumber ke Alquran dan mengutip mufasir-mufasir klasik dan modern. Jadi sebetulnya apa yang dilontarkan cak Nur bukan orisinal gagasan cak Nur. Justru kelebihannya adalah bagaimana ia bisa membahasakan pemikiran Ibnu Taymiyah, Sayid Qutb, dan para pembaharu lainnya.

Nah, itu kan sama saja dengan apa yang dilakukan PERSIS sejak dulu. Jadi tidak ada hal yang baru. Jalan saja. PERSIS begitu, cak Nur begitu. Ya sejalan saja. Hanya saja PERSIS itu lebih banyak menekanka pada aspek fikih sementara cak Nur pada aspek falsafah dan pemikiran. Sebenarnya saling melengkapi, hanya saja PERSIS sendiri sangat sulit mengakui.

Sebenarnya pembaharuan Islam itu seperti air dari sumber air yang sangat jernih kemudian mengalir dan di tengah jalan bercampur lumpur, kayu, ranting, sampah, dan limbah. Ketika sampai daerah perkotaan sudah menjadi kotor dan sudah tidak bisa digunakan dengan baik. Tidak bisa dipakai mandi, minum dan mencuci. Agar bisa digunakan kembali tidak perlu diganti dengan air baru, tapi bagaimana air sungai itu disuling (dibersihkan) supaya bisa digunakan lagi. Memang tidak seperti asli di sana, asal mata air. Ada kaporit, ada apa-apa, ada hal-baru, tapi fungsi utamanya adalah bagaimana untuk mandi, minum, dan sebagainya. Begitu juga ajaran Islam. Dari awal seperti zaman nabi, mengalir saja dan manakala sudah “kotor” tidak perlu mengganti dengan yang baru, tapi cukup mengembalikan kepada fungsinya.

Nah cak Nur sebetulnya begitu pemikirannya, hampir sama lah dengan PERSIS. Jadi pembaharuan itu adalah bagaimana mengembalikan air pada fungsi air itu sendiri. Kotoran dan sampah (dalam hal ini bid’ah, khurafat, takhayul) dibersihkan. Cak nur dalam masalah teologis anti Bid’ah, khurafat, dan Takhayul. Itu kan pemurnian tauhid. saya kira tidak jauh beda dengan pemikiran PERSIS. Jadi saya merasa sangat cocok ketika diskusi-diskusi masalah tauhid dengan cak Nur dimana diskusi-diskusi itu di PERSIS sangat kurang dibanding diskusi-diskusi masalah fikih. Pola fikirnya sama sebetulnya antara Cak Nur dan PERSIS, jadi yang mendekatkan saya dengan cak Nur adalah karena keberangkatan tajdid itu, tajdid itu adalah mengembalikan kepada Alquran dan Sunah.


Jika cak Nur sejalan dengan PERSIS dalam ide tajdid, kenapa PERSIS begitu gigih menolak bahkan mendiskreditkan cak Nur?
Itu akibat dari kurang silaturahim saja. Saya punya keyakinan yang amat kuat, kalo cak Nur diskusi dengan orang PERSIS pasti nyambung. Sangat kuat. Saya itu sebetulnya bercita cita, cita cita saya belum kesampean, bahkan cak Nur sendiri juga pernah ngomong, “Iqbal, saya itu belum pernah diundang sama PERSIS”.

Saya sebetulnya mau memfasilitasi itu, saya anggota dewan tafkir di PB PERSIS, saya mau mengudang cak Nur tapi cak Nurnya keburu sakit-sakitan, saya yakin kalau ada diskusi dan dialog dengan cak Nur dengan PERSIS, pola pikir cak Nur akan diterima. Ya sebagai manusia jika cak Nur ada kekeliruan kan itu manusia, tidak ada manusia yang sempurna. Tapi kalau diskusi saya yakin. Kenapa saya yakin? Bapak saya itu adalah orang yang sangat anti terhadap pemikiran cak nur, Pak syihabudin pendiri pesantren saya. Saya ajak beliau diskusi tiap bulanan di pasar raya, baru dua kali ikut, bilang, “ini bagus ini,” akhirnya dia tertarik akhirnya saya kasih buku cak Nur, terus bapak saya bilang, “oh ya ini sama dengan PERSIS!!!”. Kalo saja ada komunikasi. Yang kurang itu kan tidak ada komunikasi. Keburu ada orang yang menghantam. Informasi yang sampai ke PERSIS tentang cak Nur informasi yang jelek. Informasi yang positifnya gak masuk.


Soal lain nih pak, betul nggak informasi bahwa bapak juga selain memotivasi murid-murid bapak ke timur tengah, juga memotivasi untuk melanjutkan studi ke Paramadina juga?
Oh iya, Macem-macem lah, jadi kita supaya punya pengetahuan yang global tidak hanya satu warna saja. Ketika paramadina membuka jurusan falsafah, saya mengirim anak-anak terbaik saya kesana. Bahkan juga tahun ini mungkin saya kirim lagi.


Kalau bapak melihat keperibadian cak Nur seperti apa?
Dia kan orang yang sangat sederhana, sederhana dan terbuka, saya seringkali kritik beliau, saya sering kali berdebat mengenai pemikiran-pemikiran keislaman, dan beliau tidak masalah. Karena ciri orang PERSIS tuh suka berdebat. Kalo cak Nur lupa nama saya, dia panggil saya, “hei PERSIS!!” “Si PERSIS!” Di PERSIS tuh ada dua yang dekat dengan cak Nur. Saya dan Pipip ahmad Rifa’i Hasan. Jadi di jidat saya tuh kaya ada tulisan PERSIS. Kadang-kadang kalau memanggil Iqbal juga dengan embel-embel PERSIS, jadi Iqbal PERSIS.

Walaupun saya tinggal di Garut, kalau ada seminar, diskusi, kajian yang pembicaranya cak Nur saya sering hadir. Karena selalu ada gagasan-gagasan baru. Bukan gagasan baru sebenarnya. Kehebatan cak Nur adalah bisa menyederhanakan pemikiran yang rumit menjadi sederhana, itu saja. Misalnya masalah-masalah teologis yang dulu susah sekali bagaimana cara memahaminya, setelah dijelaskan cak Nur menjadi lebih sederhana dan mudah dicerna. Kalau cak Nur dianggap kontroversial itu karena beliau banyak mengutip orang-orang yang kontroversial juga, seperti Ibnu Taymiyah dan Rasyid Ridha. Cuma banyak orang menganggap itu gagasan orisinal cak Nur, padahal bukan.


Saya kira cukup sampai disini pak, terimakasih.
Sama-sama

Perlukah Kolom Agama di KTP dihapus?

Perlukah Kolom Agama di KTP Dihapus?
A : “Bro, tahu belum? Ada wacana kolom agama di KTP mau dihilangkan lho.”

B : “Emang kenapa? Katanya negara berketuhanan, kok malah hilangkan agama?”
A: “Katanya sih, kolom agama itu bisa mengakibatkan diskriminasi. Lagian agama juga urusan pribadi. Nggak usahlah dicantumkan di KTP.”

B : “Nah, ntar ada juga orang yang ngaku mendapat perlakuan diskriminasi gara-gara jenis kelamin
ditulis. Berarti kolom jenis kelamin juga harus dihapus dong. Laki-laki dan perempuan kan setara. ”

C : “Eh, jangan lupa. Bisa juga lho perlakuan diskriminasi terjadi karena usia. Jadi hapus juga kolom tanggal lahir.”

D : “Eit, ingat juga. Bangsa Indonesia ini juga sering fanatisme daerahnya muncul, terlebih kalau ada laga sepak bola. Jadi mestinya, kolom tempat lahir dan alamat juga dihapus.”
B : “Ada juga lho, perlakuan
diskriminasi itu gara-gara nama.
Misal nih, ada orang dengan nama khas agama tertentu misalnya Abdullah, tapi tinggal di daerah yang mayoritas agamanya lain. Bisa tuh ntar dapat perlakuan diskriminasi.
Jadi kolom nama juga wajib dihapus.”
B: “Kalau status pernikahan gimana?
Perlu gak dicantumkan?”
A : “Itu harus dihapus. Nikah atau tidak nikah itu kan urusan pribadi masing-masing. Saya mau nikah kek,
mau pacaran kek, itu kan urusan pribadi saya. Jadi kalau ada perempuan hamil besar mau melahirkan di rumah sakit, nggak usah ditanya KTP-nya, nggak usah ditanya sudah nikah belum, nggak usah ditanya mana suaminya.
Langsung saja ditolong oleh dokter.”
D : “Sebenarnya, kolom pekerjaan juga berpotensi diskriminasi. Coba bayangkan. Ketika di KTP ditulis pekerjaan adalah petani/buruh, kalau orang tersebut datang ke kantor pemerintahan, kira-kira pelayanannya apakah sama ramahnya jika di kolom pekerjaan ditulis TNI? Nggak kan? Buruh biasa dilecehkan. Jadi kolom pekerjaan juga harus dihapus.”
gimana?
E : “Lha terus, isi KTP apa dong?

“Mau Membantu Ko’ Bawa Bendera Partai….?

“Yang begini nih yang saya ga suka…!” Sungut Parjo ketika membuka akun FB nya..

“Ada apa sih ente pagi-pagi gini sudah nyolot?” Jawab pak Mahmud yang ada di sampingnya. 

“Ini nih lihat… partai yang satu ini, kemana-mana bikin pelayanan sosial bawa-bawa bendera partai, ketahuan banget maksudnya.” Ujar Parjo dengan nada meninggi. 

“Emangnya ga boleeeh..” Tanya pak Mahmud santai

“Ya iyyaalah… masa iya dong… kalau mau mbantu mesti ikhlas, jangan pake embel-embel.” Jawab Parjo, santai tapi serius. 

“Trus, kalo misalnya ada ormas atau yayasan Islam atau yayasan sosial lainnya melakukan hal yang sama gimana?” 

“Oh, kalau mereka lain lagi. Mereka kan sosial, buat kebaikan umat, ga ada maunya.” 

“Tapi kok pake spanduk segala? Mencantumkan nama dan logonya terus disebarin infonya di berbagai media?”

“Ya itu kan buat laporan kerja mereka ke para donaturnya, atau memperkenalkan kerja mereka.” 

“Nah, begitu juga dong mereka yang membantu pake spanduk partai, mereka juga butuh laporan, juga butuh memperkenalkan program mereka.” 

“Iyaa, tapi kan mereka tujuannya bukan cari pahala, Cuma biar partainya dicoblos di pemilu tahun depan.” Parjo masih panas. 

“Ente tahu dari mana mereka ga mau cari pahala? Itu mah urusan hati orang Jo. Ga bisa kita vonis. Perkara selain cari pahala, mereka juga ingin agar partainya dicoblos, dilihat dulu tujuannya apa?”

“Maksud pak Mahmud?”

“Kalau tujuannya sekedar menang-menangan dan masa bodoh partainya giman, anggota dewannya bagaimana atau karena sudah dapet upah untuk membela partai tertentu, itu jelas memang tidak baik. Tapi kalau dia sudah kenal partainya dipercaya, calegnya juga dia kenal saleh, cerdas dan peduli lalu dengan kegiatan tersebut masyarakat tertarik dan memilih partai atau caleg yang dia percaya tadi dengan harapan dapat membantu masyarakat atau melahirkan kebijakan-kebijakan yang baik, apa itu ga baik?”

“Ente pernah denger ga, ada pemimpin yang mau legalkan prostitusi, menghapus kolom agama di KTP, ada tokoh JIL yg jadi caleg, ga jadi anggot dewan aja sering bikin pusing umat, apalagi jadi anggota dewan. Ada juga tokoh syiah yang suka cela-cela sahabat dan isteri nabi jadi caleg… gimana tuh kalo mereka terpilih?” jelas pak Mahmud. 

“Wah, kalo orang JIL atau Syiah, saya siap keluarkan golok dan jurus yang sudah lama saya simpen pak Mahmud.” Jawab Parjo semangat. 

“Halaah… sekarang gak zaman keluarin golok dan jurus, itu mah adanya di film doing… bisa-bisa malah ente yang ketangkep polisi. Yang penting sekarang, gimana agar orang yang mengisi bangku DPR dan kursi pimpinan adalah orang-orang bener, peduli, ga korup dan membela agama dan kepentingan masyarakat. Dan itu ga cukup himbauan dan harapan, tapi harus ada langkah nyata. Nah, salah satunya dengan pelayanan dan bakti sosial melalui partai itu.” 

“Kalau tujuannya selain mencari pahala dan membantu orang adalah untuk membela yang hak dan kebaikan buat umat serta mencegah orang-orang buruk memegang urusan umat, saya malah nilai pekerjaan mereka berpahala ganda… apalagi kalau ada yang mencemooh, bisa tambah lagi tuh Jo pahalanya karena sabarnya… soalnya dah berbuat baik dicemooh lagi…” jelas pak Mahmud.

“Tapi pak Mahmud, masalahnya, mereka kalo ga pake nama partai ga bikin acara begituan.. itu kan namanya kerja karena partai..” Parjo masih nyolot… 

“Sekali lagi, hati orang jangan kita vonis. Lihat yang zahir saja. Siapa jamin dia kalau ga bersama partai ga mau kerja. Ente juga seharusnya lihat dari sisi lain. Itu berarti partainya yang harus diacungin jempol, bisa menggerakkan masa yang tadinya tidak mau tergerak melakukan kegiatan sosial jadi tergerak melakukan kegiatan positif yang manfaatnya banyak dirasakan orang. Daripada mereka diam saja kaya kambing bengong, mending ikut kegiatan yang positif, yak kan?”

“Nah ente Jo, saya tanya, pernah ga ikut kegiatan sosial seperti itu, baik atas nama partai atau bukan?” 

“He he he.. belum tuh pak, tapi saya bukang kambing bengong…” Jawab Parjo sambil nyengir. 

“Tuh kan… orang-orang sibuk bekerja dan ambil bagian, ente malah sibuk mempertanyakan dan beri penilaian. Heh Jo… dalam Alquran ga dilarang orang berbuat baik terang-terangan, selama dijaga ikhlas dan tujuannya baik, yang pasti dilarang adalah terang-terangan berprasangka dan mencela orang-orang yang ingin berbuat baik.” 

“Iya deh pak Mahmud, sekarang saya paham. Astaghfirullah……Insya Allah nanti saya ikut gabung dah… “

Rahasia Bisnis Pengusaha

 

© 2013 Manhaj. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top