24/02/14

Penyakit Bangsa yang Harus Segera Diobati

Syahdan! Sebagai umat beriman, selayaknya kita menyimak dan menghayati doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw., yang maknanya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari rasa cemas dan putus asa; aku berlindung kepada-Mu dari sifat hina dan malas; aku berlindung kepada-Mu dari jiwa pengecut dan kikir; aku berlindung kepada-Mu dari jerat utang dan dominasi orang lain." (HR. Abu Daud)

Doa ini menggambarkan sejumlah masalah yang bisa saja dialami oleh perorangan maupun keompok, dan tentu harus ditanggulangi dan dihilangkan. Permasalahan ini akan terus berkembang, semakin lama semakin menumpuk dan memuncak, sehingga akhirnya seseorang atau suatu bangsa tak bisa lagi mencari jalan keluar.

Ada empat indikator penyakit sehingga secara nyata setiap perorangan atau kelompok manusia bisa dikategorikan berada dalam keterpurukan hidup. Ada yang bersifat psikologis, psikososilogis, sosioantropologis, dan ekonomi-politis ideologis. Mari kita kupas satu persatu.

Penyakit Bersifat Psikologis
Yakni, merajanya rasa cemas (anxiety) dan putus asa (despair). Kecemasan bermula dari ketidakpuasan terhadap situasi yang sedang berlangsung, dan kekhawatiran menyongsong masa depan yang serba tak pasti. Krisis dan tekanan yang silih berganti memburamkan pandangan dan mengubur harapan tersisa. Yang tinggal hanya perasaan bersalah (guilty feeling), atau kebiasaan menyalahkan orang lain )the enemy is out there), tanpa kesanggupan melakukan introspeksi atau autokritik secara kesatria.

Penyakit Bersifat Psikososiologis
Yaitu, sifat hina dan malas. Perasaan rendah diri menjangkiti jika berhadapan dengan orang lain. bahkan, kebiasaan mengisolasi diri dari pergaulan dengan sesama umat manusia tumbuh akibat takut bersaing. Ada bangsa yang merasa bodoh, miskin, dan terbelakang hanya karena faktor-faktor fisik materiaistik belaka. Selanjutnya, tak ada keinginan untuk berubah menjadi lebih baik, mencapai taraf yang sama dihadapan bangsa yang lain.

Malas untuk menuntut pengetahuan dan pengalaman baru, menghadapi tantangan dan melampaui ujian yang sudah sewajarnya dilakoni demi mencapai prestasi yang lebih baik atau yang terbaik. Akhirnya, bangsa ini menghibur diri dengan keadaan yang stagnan.

Penyakit Bersifat Sosioantropologis
Penyakit ini berupa jiwa pengecut dan kikir. Pada stadium ini, tak ada lagi semangat juang (fighting spirit) dan jiwa kepahlawanan, semuanya hanya cerita masa lalu yang dibangga-banggakan sebagai warisan nenek moyang.

Setiap orang merasa enggan untuk berkorban demi menyelamatkan masyarakat secara keseluruhan, sebab pengorbanan yang tulus (altruism) dipandang sebagai kesia-siaan dan tidak akan menghasilkan kompensasi konkret. Dengan demikian, musuh utama bukan berada di luar diri melainkan di dalam diri sendiri termasuk kekikiran dan ketamakan pribadi yang menyebakan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Tak ada lagi keinginan untuk berbagi dengan orang lain, karena nafsu kepemilikan dan haus kekuasaan tak bisa dikendalikan. Masing-masing orang mencariselamat sendiri, meskipun tahu perahu bangsa akan segera tenggelam.

Penyakit Bersifat Ekonomi-Politis Ideologis
Puncak peyakit ini adalah jeratan utang dan dominasi kekuatan asing. Individu atau bangsa yang selalu cemas serta malas berfikir dan bekerja biasanya suka mencari jalan pintas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus mendesak, sementara penghasilan terbatas, maka pemalas cenderung memperbesar utang.

Kekayaan terpendan yang dimiliki dan sumberdaya yang menganggur masih berlimpah, tapi tidak terkelola dengan baik. Jerat utang (debt trap) mulanya membuat orang hidup nyaman, karena tak perlu bekerja keras, cukup mengendalikan "kebaikan hati" orang lain.

Namun lama-kelamaan utang itu membuahkan ketergantungan, bahkan ketundukan pada kekuatan asing, baik secara ekonomi, politik, maupun tergadainya nilai ideologi bangsa. Penyaluran utang adalah modus imperialis yang paling canggih dan halus, sebab bangsa yang ditaklukkan tidak merasa dirinya dijajah oleh kapitalis global.

Esensi
Esensi doa Nabi ternyata memetakan secara tepat rangkaian permasalahan empiris atau penyakit individual dan sosial yang sedang kita hadapi. Sejak krisis ekonomi dan moneter lebih dari satu dasawarsa silam, bangsa Indonesia belum berhasil lepas dari jerat masalah yang kini menjadi benang kusut krisis nasional multi-dimensi. Krisis ekonomi, politik, ideologi, moral dan budaya semakin menjadi.

Perubahan yang sangat cepat, tatanan demokrasi yang belum mantap, arus globalisasi yang diawali dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat, program pemulihan krisis yang belum tuntas diikuti demokrasi, otonomi daerah, dan kebebasan pers membuat pengelolaan negara tidak semudah dalam iklim otoritarian semi-militerismik. Sementara tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat masih tergolong sangat rendah.

Terjadi 'decoupling' ekonomi, politik, dan ideologi. Posisi keterbukaan, kebebasan, dan partisipasi masyarakat meningkat, tapi tidak diiringi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan dan pengangguran justru meningkat di tengah arus demokratisasi. Bahkan, demokratisasi dan otonomi daerah telah menyebabkan virus KKN, bukan hanya secara territorial, tetapi secara faksional di lembaga-lembaga seperti legislatif, partai politik, lembaga sosial dan lain-lain.

Kesimpulan
Kita sudah menyadari dan memahami keempat karakter penyakit yang bersifat psikologis, psikososiologis, sosioantropologis, dan ekonomi-politis ideologis. Tak ada jaln lain kecuali kembali kepada perlindungan Allah Swt. dan berittiba' kepada Rasul Saw., kembali kepada esensi syahadat yang sesungguhnya.

Kesadaran ini dilandasi oleh pemahaman bahwa ditimpakannya peyakit ini tidak terlepas dari keberdayaan diri kita sebagai individu manusia dan bangsa yang beriman untuk keluar dari keterpurukan tersebut, dan kemauan besar untuk keluar dari keterpurukan tersebut, dan kemauan besar untuk merubah nasib buruk menjadi nasib yang diberkahi. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS. Al-Ra'd [13]: 11)

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat, sehingga tidak ada lagi hal yang bisa menghalangi kita untuk bangkit dengan doa dan ikhtiar. Tentu saja, kita berharap semoga Allah mengaruniakan cahaya Rahman dan Rahim sebagai wujud penyelamatan jiwa dari kerangkeng raga menuju kebahagiaan. Wallahua'lam.

Oleh Hendy Hermawan

22/01/14

7 AMALAN YANG TETAP MENGHASILKAN PAHALA


عَنْ أَنَسٍ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ : سَبْعٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Dari Anas Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan, " Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Ada tujuh hal yang pahalanya akan tetap mengalir bagi seorang hamba padahal dia sudah terbaring dalam kuburnya setelah wafatnya (yaitu) : Orang yang yang mengajarkan suatu ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanamkan kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf atau meninggalkan anak yang memohonkan ampun buatnya setelah dia meninggal

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Kasyful Astâr, hlm. 149. hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dam shahihul Jami', no. 3602

Sungguh di antara nikmat agung Allâh yang diberikan kepada para hamba-Nya yang beriman adalah Allâh Azza wa Jalla menyediakan pintu-pintu kebaikan yang sangat banyak bagi mereka. Pintu-pintu kebaikan yang bisa dikerjakan oleh seorang hamba yang mendapatkan taufiq semasa hidupnya di dunia, namun pahalanya akan terus mengalir sepeninggal si pelaku. (Aliran pahala ini sangat dibutuhkan oleh orang yang sudah meninggal.) Karena orang yang sudah meninggal itu tergadai, mereka tidak bisa lagi beramal dan mereka akan diminta pertanggungan jawab lalu diberi balasan dari perbuatan-perbuatan yang pernah mereka lakukan dalam hidup mereka. (Berbahagialah !) orang yang mendapatkan taufiq (dalam hidupnya, karena) di dalam kuburnya kebaikan-kabaikan, pahala dan keutamaan akan terus mengalir baginya. Dia sudah tidak lagi beramal akan tetapi pahalanya tidak terputus, derajatnya bertambah, dan kebaikannya semakin berkembang, serta pahalanya berlipat ganda padahal dia sudah terbaring kaku dalam kuburnya.

Alangkah mulianya; Alangkah indah dan alangkah nikmatnya. (Semogga Allâh Azza wa Jalla menganugerahkan akhir kehidupan yang baik bagi kita semua).

(Bagaimanakah menggapai harapan setiap insan beriman itu ?) Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tujuh perkara yang pahalanya akan terus mengalir kepada seorang hamba setelah ia meninggal.

Wahai saudaraku ! Renungkanlah sejenak amalan-amalan ini lalu berusahalah untuk mendapatkan bagian darinya selama engkau masih diberi kesempatan di dunia. Bergegaslah untuk mengerjakannya sebelum umurmu habis dan ajal datang menjemput !

Berikut ini adalah sedikit penjelasan tentang amalan-amalan tersebut :

Pertama : Mengajarkan Ilmu.
Kata ilmu yang dimaksudkan disini adalah ilmu bermanfaat yang bisa mengantarkan seseorang agar mengerti tentang agama mereka, bisa mengenalkan Rabb dan sesembahan mereka; ilmu yang bisa menuntun mereka ke jalan yang lurus; Ilmu yang dengannya bisa membedakan antara petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebathilan, serta halal dan haram. Dari sini, nampak jelas besarnya keutamaan para Ulama yang selalu mamberi nasehat dan para da'i yang ikhlas. Merekalah (ibarat) pelita bagi manusia, penyangga negara, pembimbing umat dan sumber hikmah. Hidup mereka merupakan kekayaan dan kematian mereka adalah musibah. Karena mereka mengajari orang-orang yang tidak tahu, mengingatkan yang lalai, serta menerangkan petunjuk kepada orang yang sesat. Ketika salah seorang dari para Ulama meninggal dunia, maka ilmunya akan tetap abadi terwariskan di tengah masyarakat, buku karya dan perkataannya akan senantiasa beredar. Masyarakat bisa memanfaatkan dan mengambil faidah dari buah karya mereka. (Dengan sebab inilah) pahala akan terus mengalir, meski mereka sudah berada dalam kuburan.

Dahulu banyak orang mengatakan, "Seorang yang berilmu meninggal dunia sementara kitabnya masih ada." Namun sekarang, suaranya (pun) terekam dalam pita-pita kaset (atau kepingan CD) yang berisi pelajaran-pelajaran ilmiyah, muhadharah dan khuthbah-khuthbah yang sarat dengan manfaat, sehingga generasi-generasi yang datang setelahnya bisa mengambil manfaat darinya.

Orang yang berpartisipasi dalam mencetak buku-buku yang bermanfaat, dan menyebarkan buku-buku karya para Ulama yang sarat dengan faedah serta membagikan kaset-kaset ilmiyyah maka dia juga mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allâh Azza wa Jalla .

Kedua : Mangalirkan Sungai

Maksudnya adalah membuat aliran-aliran sungai dari mata air dan sungai induk, supaya airnya bisa sampai ke pemukiman masyarakat serta sawah ladang mereka. Dengan demikian, manusia akan terhindar dari dahaga, tanaman tersirami, serta binatang ternak mendapatkan air minum.

Betapa pekerjaan besar ini akan menghasilkan begitu banyak kebaikan bagi manusia dengan membuat kemudahan bagi dalam mengakses air yang merupakan unsure terpenting dalam kehidupan. Semisal dengan ini yaitu mengalirkan air ke pemukiman masyarakat melalui pipa-pipa, begitu pula menyediakan tendon-tandon air di jalan-jalan dan tempat-tempat yang mereka butuhkan.

Ketiga : Manggali Sumur

Ini sama dengan penjelasan di atas. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا فَقَالَ نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Suatu ketika ada seorang lelaki yang menahan dahaga yang teramat berat berjalan di jalan, lalu dia menemukan sumur. Dia turun ke sumur itu lalu meminum kemudian keluar. Sekonyong-konyong dia mendapati seekor anjing terengah menjulurkan lidahnya menjilat tanah karena saking hausnya. (Melihat pemandangan ini,) lelaki itu mengatakan, 'Anjing ini telah dahaga yang sama dengan yang aku rasakan.' Lalu dia turun ke sumur itu dan memenuhi sepatunya dengan air lalu diminumkan ke anjing tersebut. Maka (dengan perbuatannya itu) Allâh Azza wa Jalla bersyukur untuknya dan memberikan maghfirah (ampunan)-Nya. Para shahabat bertanya, "Apakah kita bisa mendapatkan pahala dalam (pemeliharaan) binatang ?" Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Ya, pada setiap nyawa itu ada pahala." [2]

Ini pahala yang didapatkan oleh orang yang memberikan minum, lalu bagaimana dengan orang yang menggali sumur yang dengan keberadaannya akan tercukupi kebutuhan minum banyak orang dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.

Keempat : Menanam Pohon Kurma

Telah diketahui bersama bahwa pohon kurma merupakan pohon termulia dan memiliki banyak manfaat buat manusia. Maka barangsiapa menanam pohon kurma dan mendermakan buahnya untuk kaum Muslimin, maka pahalanya akan terus mengalir setiap kali ada orang memakan buahnya atau setiap kali ada yang memanfaatkannya baik manusia maupun hewan. Ini juga berlaku bagi siapa saja yang menanam segala macam pohon yang bermanfaat bagi manusia. Penyebutan kurma dalam hadits di atas secara khusus disebabkan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh pohon kurma.

Kelima : Membangun Masjid

Masjid merupakan tempat yang paling dicintai Allâh Azza wa Jalla . Sebuah tempat yang Allâh perintahkan untuk diangkat dan disebut nama-Nya di sana. Apabila masjid telah dibangun maka di sana akan dilaksanakan shalat, dibaca ayat-ayat al-Qur'ân, nama-nama Allâh Azza wa Jalla akan disebut, ilmu-ilmu akan diajarkan, serta bisa menjadi tempat berkumpulnya kaum Muslimin, masih banyak faedah-faedah yang lain. Masing-masing poin itu bisa menghasilkan pahala.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ

Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan membangunkannya rumah yang sama di surge[3]

Keenam : Mewariskan al-Qur'ân

Ini bisa dilakukan dengan cara mencetak atau membeli mushaf al-Qur'an lalu mewakafkannya di masji-masjid dan majlis-majlis ilmu agar bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Orang yang mewakafkan mushaf al-Qur'an akan mendapatkan pahala setiap kali ada orang yang membacanya, mentadabburi maknanya dan mengamalkan kandungannya.

Ketujuh : Mendidik Anak-anak

Memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak serta berusaha maksimal membesarkan mereka dalam ketaqwaan dan kebaikan. Sehingga diharapkan, mereka akan menjadi anak-anak yang berbakti dan shalih, yang mendoakan kebaikan untuk kedua orang tua mereka, dan memohonkan rahmat serta ampunan buat kedua mereka. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa sesungguhnya ini termasuk hal-hal yang masih bermanfaat bagi seseorang meski ia sudah menjadi mayit.

Senada dengan hadits di awal yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

Sesungguhnya diantara amal dan kebaikannya yang akan menyertai seorang Mukmin setelah meninggalnya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid dibangun, rumah persinggahan yang dibangun bagi orang yang sedang menempuh perjalanan, sungai yang dialirkannya, sedekah yang dia keluarkan dari hartanya saat masih sehat dan hidup akan menyertainya sampai meninggalnya [4]

Juga hadits dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَرْبَعَةٌ تَجْرِي عَلَيْهِمْ أُجُوْرُهُمْ بَعْدَ الْمَوْتِ : مَنْ مَاتَ مُرَابِطًا فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أُجْرِيَ لَهُ عَمَلُهُ مَا عَمِلَ بِهِ وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَجْرُهَا يَجْرِي لَهُ مَا وُجِدَتْ وَرَجُلٌ تَرَكَ وَلَدًا صَالِحًا فَهُوَ يَدْعُوْ لَهُ

Ada empat hal yang pahalanya tetap mengalir bagi pelakunya setelah meninggalnya (yaitu) orang yang meninggal saat menjaga perbatasan dalam jihad fi sabilillah, orang yang mengajarkan ilmu dia akan tetap diberi pahala selama ilmunya itu diamalkan; Orang yang bersedekah maka pahalanya akan tetap mengalir selama sedekah itu masih ada; dan orang yang meninggalkan anak shalih yang mendo'akannya[5]

Juga hadits yang sangat popular yaitu hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seseorang sudah meninggal maka seluruh amalannya terputus kecuali dari tiga perkara (yaitu) dari sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang mendo'akannya[6]

Ketika menjelaskan maksud dari shadaqah jariyah, sekelompok para Ulama mengatakan bahwa maksudnya adalah wakaf. Sebagin besar dari perkara-perkara yang dipaparkan di atas termasuk shadaqah jariyah.

Dan sabdanya : ((أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ )) yang artinya rumah yang dibangun untuk orang yang sedang melakukan perjalanan.

Di dalam potongan sabda beliau n ini terdapat isyarat keutamaan membangun rumah dan mewaqafkannya agar bisa dimanfaatkan oleh kaum Muslimin secara umum, baik ibnu sabîl, para penuntut ilmu, anak-anak yatim, para janda ataupun orang-orang fakir dan miskin. Alangkah banyak kebaikan dan kemaslahan yang terealisasi dengan hal ini.

Terkadang hal-hal tersebut di atas memancing munculnya berbagai amalan-amalan yang penuh barakah yang akan tetap menghasilkan pahala bagi pelakunya meskipun dia sudah meninggal dunia.

Akhirnya, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk melakukan semua kebaikan dan agar Allâh Azza wa Jalla senantiasa membantu kita dalam melakukan berbagai aktifitas kebaikan dan senantiasa membimbing kita dalam meniti jalan petunjuk.


Oleh: Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari al-Fawâid al-Mantsûrah, hlm. 11-15
[2]. HR. Bukhari, no. 2466 dan Muslim, no. 2244
[3]. HR. Bukhari, no. 450 dan Muslim, no. 533
[4]. HR. Ibnu Majah, no. 242. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani t dalam Shahîh Sunan Ibni Majah, no. 198
[5]. HR. Ahmad (5/260-261); ath-Thabrani, no. 7831. Hadits ini dinilai hasan Syaikh al-Albani t dalam Shahîh al-Jâmi, no. 877
[6]. HR. Muslim, no. 1631

Sumber: almanhaj.or.id

TATA CARA BERTAUBAT DARI HARTA HARAM


TATA CARA BERTAUBAT DARI HARTA HARAM

Berikut ini rincian cara bertaubat dari harta haram:

a. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Yang Merupakan Hasil Dari Muamalat Yang Dilakukan Tanpa Saling Ridha Dan Keberadaan Pemiliknya Yang Sah Masih Diketahui

Cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya. Berdasarkan uraian ini, maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual-beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal engan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual-beli berang dengan cara terpaksa[5]

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

Tangan yang mengambil barang orang dengan cara yang tidak diridhainya wajib menanggung barang tersebut hingga dikembalikan kepada pemiliknya. [HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth derejat hadis ini hasan lighairihi]

Barang atau uang yang didapat dengan muamalat tanpa saling ridha wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada barangya serta belum terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.

Jika barang atau uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesempurnaan taubatnya dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.

Jika Terjadi Perubahan Pada Barang, Maka Perubahan Itu Terjadi Dalam Beberapa Bentuk:

• Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang.
Pada kondisi ini, orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan baraaang yang telah berubah nilainya itu serta memberikan ganti rugi sesuai dengan kekurangan atau penyusutan nilai barang tersebut.

• Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak.
Pada kondisi ini, menurut salah satu pendapat dalam mazhab Hambali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapat ini lebih adil.

Jika Terjadi Perubahan Pada Uang, Maka Perubahan Itu Ada Dua Macam
• Jumlah uangnya berkurang.
Dalam kondisi ini, pelaku kezhaliman berkewajiban menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan.

• Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usaha, seperti seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapatkan laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik yang sah?

Dalam hal ini sebagian Ulama berpendapat bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah. Adapun keuntungan dibagi dua antara pemilik yang sah dan pengembang. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim rahimahullah.

Pendapat ini berdalil dengan kisah mudharabah antara Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dengan modal harta negara yang dititipkan oleh Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu.

Dari atsar ini dapat diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.

Harta Haram Dari Hasil Muamalat Yang Tidak Sah Ridha Dan Tidak Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya
Harta haram yang didapat dengan jalan tidak saling ridha antara dua orang yang bertansaksi dan tidak diketahui lagi keberadaan rekan transaksinya, serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya yang sah, maka untuk kesempurnaan taubat pemegang harta haram ini hendaklah menyedekahkan barang atau uang itu kepada para fakir-miskin, atau untuk pembangunan fasilitas umum dan untuk kemaslahatan lainnya. Dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik barang atau uang yang sah. Jika nanti di kemudian hari pemiliknya diketahui hendaklah ia memberikan pilihan kepadanya antara rela dengan uangnya yang telah disedekahkan atau ia menggantinya dan sedekah berubah menjadi miliknya (atas namanya).

Pendapat ini berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa ia membeli seorang budak. Lalu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu membawa budak itu masuk ke rumah, kemudian ia menimbang uang emas sebagai harga budak tersebut.

Pada saat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu keluar untuk menyerahkan uang kepada penjual budak, ia sudah tidak menemukan lagi penjual budak itu. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berusaha mencari serta menunggu penjual budak selama setahun. Setelah satu tahun berlalu, ia tidak juga menemukannya. Lalu ia sedekahkan uang harga budak itu seraya berkata,”Ya Allah, sedekah ini atas nama pemilik budak, jika nanti dia datang maka akan aku beri dia pilihan antara sedekah tetap menjadi miliknya atau menjadi milikku dan aku ganti uangnya”. [HR. Al-Bukhari]

b. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Hasil Muamalat Yang Dilakukan atas Dasar Saling Ridha
Orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridha, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti pemberi dan pemakan harta riba saling ridha dalam akad riba yang mereka lakukan; atau dua orang yang mengadu nasib dalam perjudian (akad gharar) saling ridha apapun yang terjadi; atau dua orang yang saling ridha melakukan transaksi sogok-menyogok; atau dua orang yang saling ridha melakukan jual-beli benda-benda najis atau yang diharamkan. Para pelaku muamalat haram ini terkadang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, dan terkadang ia tahu, tetapi sengaja ia langgar.

• Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena tidak mengetahui hukumnya dan semoga Allah mengampuni kelalainnya.

Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [Al-Baqarah/2:275]

Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa hukum riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.

Maka secara implisit ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram6[6].

• Orang yang tahu bahwa Muamalat yang Ia lakukan Hukumnya Haram
Untuk orang yang mengetahui bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk Baitul Mal (kas negara) dalam rangka membersihkan dirinya dari dosa harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya. Status baru ini berlaku atas imbalan yang dia dapatkan, meskipun imbalan tersebut hukumnya haram.

Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu bahwa ia juga pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke Baitul Mal.[7]

Ini menunjukkan bahwa harta haram dimasukkan ke Baitul Mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Dan juga boleh diberikan kepada fakir miskin berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu tentang sedekahnya dari harta haram.

Namun, jika kondisi penerima harta haram yang didapat dari transaksi haram yang berdasarkan asas saling ridha adalah seorang fakir miskin maka ia boleh mengambilnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, hingga ia mendapatkan harta yang halal.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik. Dan jika pemegang harta haram adalah seorang yang miskin, maka ia boleh mensedekahkan harta tersebut untuk dirinya dan juga keluarganya, karena pada diri mereka juga terdapat status kemiskinan, bahkan mereka lebih pantas untuk mendapat harta tersebut”[8]

Ibnu Maudud rahimahullah berkata,”Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”[9]

Di dalam al-Fatawa al-Kubra disebutkan,”Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib maka pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat, maka harta itu halal dimakannya. Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi kemudia dia bertaubat maka hendaklah ia mensedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya ..... Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambil sekedar menutupi kebutuhan pokoknya.”[10]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ”Harta yang harus disedekahkan karena pemiliknya tidak diketahui, seperti harta perampokan dan titipan .... menurut qadhi Abu Ya’la boleh dimakan jika pemegang harta tersebut adalah soerang fakir miskin.”[11]

Demikian uraian singkat tentang harta haram, penggunaannya dan cara bertaubat darinya. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

Baca juga artikel tentang pengertian harta haram dan penggunaan harta haram.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[5]. Dr. Khalid al-Mushlih, at Taubah Minal Makasib al-Muharramah wa Ahkamuha fil Fiqh al-Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429 H, hlm. 13
[6]. Dr. Khalid al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al Muharramah wa Ahkamuha fi fiqh al-Islami, Journal kementrian keadilan Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm.35.
[7]. Dr. Abbas al Baz, Ahkam al Mal haram fi fiqhil Islami, hlm.345-346.
[8]. Syarah al-Muhadzdzab, IX/351.
[9]. Al-Ikhtiyar li Ta’lil al Mukhtar, III/61.
[10]. Al-Fatawa al-Kubra, V/421.
[11]. Al-Qawaid, hlm. 129-130.

Sumber: almanhaj.or.id

PENGGUNAAN HARTA HARAM

Sebelumnya kita telah membahas tentang pengertian harta haram. Disini kita akan membahas tentang penggunaan harta haram agar kita tidak tergelincir hingga memakannya.

Jika seseorang mengetahui dan menyadari bahwa ternyata pada sebagian hartanya ada harta haram, maka yang harus dia lakukan adalah bertaubat kepada Allah. Untuk menyempurnakan taubatnya hendaklah ia mengeluarkan seluruh harta haram tersebut karena hakikatnya harta haram bukan miliknya.

Al-Ghazali rahimahullah berkata, (dan dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa itu merupakan pendapat Ulama Syafi’iyyah), “Barangsiapa hanya memegang harta haram, maka ia tidak ada kewajiban berhaji, tidak ada kewajiban membayar kafarat karena ia dianggap tidak memiliki harta, tidak wajib zakat karena zakat dikeluarkan dari 1/40 harta, sedangkan pemegang harta haram wajib mengeluarkan seluruh harta haram dengan cara dikembalikan kepaada pemiliknya jika diketahui keberadaannya atau dibagikan kepada fakir miskin jika pemiliknya tidak diketahui.”[1]



Demikian pembahasan mengenai penggunaan harta haram dalam islam, baca juga cara bertaubat dari harta haram.


[1]. Ihya’ Ulumuddin, II/1234.

HARTA HARAM

Yang dimaksud dengan harta haram adalah setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat[1]. Seperti hasil mencuri, menipu, memanipulasi dan akad yang tidak sah.

Faktor Penyebab Akad Menjadi Tidak Sah dan Hasilnya Merupakan Harta Haram.

Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah akad tidak sah sehingga hasilnya menjadi harta haram, yaitu: riba, gharar dan zhulm.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebuah akad yang tidak mengandung unsur gharar, riba dan zhulm tidak mungkin diharamkan syari’at [2]”

Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan,”Faktor penyebab muamalat diharamkan adalah riba, zhulm dan gharar” [3].

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas pengertian faktor-faktor penyebab muamalat menjadi diharamkan.

1. Riba
Secara bahasa riba artinya bertambah, sedangkan menurut istilah riba adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang, atau menambahkan takaran saat melakukan tukar-menukar 6 komoditi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai.

Riba terbagi menjadi
• Riba Dain : Riba yang objeknya adalah penambahan hutang
• Riba Ba’i : Riba yang objeknya adalah akad jual-beli.

2. Gharar
Secara bahasa gharar berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Secara istilah gharar adalah jual-beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian Ulama mendefinisikannya dengan jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.

Jenis gharar yang diharamkam:
a. Nisbah (prosentase) gharar dalam akad itu besar.
Jika nisbah (prosentase) gharar yang ada dalam sebuah akad sangat besar maka akad ini diharamkan. Al-Baji berkata,”Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar.”

b. Keberadaan gharar dalam akad itu mendasar.
Jika keberadaan gharar dalam akad merupakan pokok dari akad tersebut, maka akad ini menjadi haram. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ”Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan.... seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu dalam kantung susu hewan mengandung unsur gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi)..... dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang masih dalam perut induknya)”

c. Akad yang mengandung gharar itu bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia, maka akadnya dibolehkan”.

d. Gharar yang terjadi pada akad jual-beli.
Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad jual-beli hukumnya dilarang.

3. Zhalim
Zhulm berasal dari bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zhalim.

Menurut istilah zhalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allah. Dengan pengertian ini, maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zhalim yang diharamkan, baik dengan cara menambah atau mengurangi.

Baca juga pembahasan tentang cara menggunakan harta haram dan bagaimana cara bertaubat dari harta haram.

Footnote
[1]. Dr. Khalid Al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al-Muharramah wa Ahkamuha fil Fiqh al Islami, Journal Kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429 H, hlm. 13
[2]. I’lam al Muwaqqi’in, III/331.
[3]. Asy-Syarh Al-Mumti’ IX/5

Sumber: almanhaj.or.id

Arisan Dalam Pandangan Islam

Hampir seluruh penduduk di pelosok tanah air mengenal yang namanya arisan. Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab juga telah dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni, hingga kini fenomena ini masih berkembang dengan pesat. Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama. Apalagi permasalah ini termasuk kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Fenomena ini demikian semarak dilakukan kaum Muslimin karena adanya kemudahan dan banyak membantu mereka serta bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?

HAKEKAT ARISAN
Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian tersebut dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Wjs. Poerwadarminta, PN Balai Pustaka, 1976 hlm:57)

Ini sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni. Jum’iyyah al-muwazhzhafin dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya. Kesepakatan ini dilakukan pada akhir setiap bulan atau akhir semester (enam bulan) atau sejenisnya, kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan kepada salah seorang anggota pada bulan kedua atau setelah enam bulan –sesuai dengan kesepakatan mereka-. Demikianlah seterusnya, sehingga setiap orang dari mereka menerima jumlah uang yang sama seperti yang diterima orang sebelumnya. Terkadang arisan ini berlangsung satu putaran atau dua putaran atau lebih tergantung pada keinginan anggota.

Hakekat arisan ini adalah setiap orang dari anggotanya meminjamkan uang kepada anggota yang menerimanya dan meminjam dari orang yang sudah menerimanya kecuali orang yang pertama mendapatkan arisan maka ia menjadi orang yang berhutang terus setelah mendapatkan arisan, juga orang yang terakhir mendapatkan arisan, maka ia selalu menjadi pemberi hutang kepada anggota.

Berdasarkan hal ini, apabila salah seorang anggota ingin keluar dari arisan pada putaran pertama diperbolehkan selama belum pernah berhutang (belum menarik arisannya). Apabila telah berhutang maka ia tidak punya hak untuk keluar hingga selesai putaran arisan tersebut sempurna atau melunasi hutang-hutang kepada setiap anggota arisan.

Berdasarkan definisi diatas, para Ulama memberikan tiga bentuk arisan yang umum beredar di dunia; yaitu:

Pertama : Sejumlah orang bersepakat untuk masing-masing mereka membayarkan sejumlah uang yang sama yang dibayarkan pada setiap akhir bulan atau akhir semester dan semisalnya. Kemudian semua uang yang terkumpul dari anggota diserahkan dalam bulan pertama untuk salah seorang dari mereka dan pada bulan berikutnya untuk yang lain dan seterusnya sesuai kesepakatan mereka. Demikian seterusnya hingga setiap orang menerima jumlah uang yang sama dengan yang diterima oleh anggota sebelumnya. Arisan ini bisa berlanjut dalam dua putaran atau lebih tergantung kesepakatan dan keridhaan peserta. Dalam bentuk ini tidak ada syarat harus menyempurnakan satu putaran.

Kedua : Bentuk ini menyerupai bentuk yang pertama, namun ada tambahan syarat semua peserta tidak boleh berhenti hingga sempurna satu putaran.

Ketiga : Bentuk ini mirip dengan bentuk kedua, hanya saja ada tambahan syarat harus menyambung dengan putaran berikutnya.

Hukum Arisan Secara Umum
Ada dua pendapat para Ulama dalam menghukumi arisan dalam bentuk yang dijelaskan dalam hakekat arisan diatas, tanpa ada syarat harus menyempurnakan satu putaran penuh.

Pendapat pertama mengharamkannya. Inilah pendapat Syaikh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh (mufti Saudi Arabia sekarang) dan Syaikh Abdurrahman al-Barak.

Argumentasi mereka adalah:
1. Setiap peserta dalam arisan ini hanya menyerahkan uangnya dalam akad hutang bersyarat yaitu menghutangkan dengan syarat diberi hutang juga dari peserta lainnya. Ini adalah hutang yang membawa keuntungan (qardh jarra manfaatan). Padahal para Ulama sepakat semua hutang yang memberikan kemanfaatan maka itu adalah haram dan riba, seperti dinukilkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Ijma’, halaman ke-120 dan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 6/346.

2. Hutang yang disyariatkan adalah menghutangkan dengan tujuan mengharap wajah Allah dan membantu meringankan orang yang berhutang. Oleh karena itu dilarang orang yang menghutangkan menjadikan hutang sebagai sarana mengambil keuntungan dari orang yang berhutang.

3. Dalam arisan ada persyaratan akad (transaksi) di atas transaksi. Jadi seperti dua jual beli dalam satu transaksi (bai’atain fi bai’ah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘alihi wa sallam yang berbunyi:

نَهَى النَّبِيُّ صلّ الله عليه وسلّم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli [HR. Ahmad dan dihasankan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 5/149]

Itu adalah pendapat sekelompok Ulama yang pertama, sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa arisan itu boleh. Inilah fatwa dari al-hafizh Abu Zur’ah al-‘raqi (wafat tahun 826), (lihat Hasyiyah al-Qalyubi 2/258) fatwa mayoritas anggota dewan majlis Ulama besar (Hai’ah Kibaar al-Ulama) Saudi Arabia, diantara mereka Syaikh Abdulaziz bin Baz (mufti Saudi Arabia terdahulu) dan Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin serta Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Jibrin.

Argumentasi mereka adalah:
1. Bentuk seperti ini termasuk yang diperbolehkan syariat, karena hutang yang membantu meringankan orang yang berhutang. Orang yang berhutang dapat memanfaatkan uang tersebut dalam waktu tertentu kemudian ia mengembalikannya sesuai dengan jumlah urnag yang diambilnya tanpa ada penambahan dan pengurangan. Inilah hakekat hutang (al-qardh al-mu’tad) yang sudah diperbolehkan berdasarkan nash-nash syariat dan ijma’ para Ulama. Arisan adalah salah satu bentuk hutang. Hutang dalam arisan serupa dengan hutang-hutang biasa, hanya saja dalam arisan berkumpul padanya hutang dan menghutangkan (piutang) serta pemanfaatan lebih dari seorang. Namun kondisi ini tidak menyebabkan dia terlepas dari hakekat dan penamaan hutang.

2. Hukum asal dalam transaksi muamalah adalah halal. Semua transaksi yang tidak ada dalil syariat yang mengharamkannya diperbolehkan. Anggap saja arisan ini tidak termasuk jenis hutang, maka ia tetap pada hukum asalnya yaitu diperbolehkan selama tidak ada dalil shahih yang melarangnya.

3. Arisan berisi unsur kerjasama, tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, karena ia adalah salah satu cara menutupi kebutuhan orang yang butuh dan menolong mereka untuk menjauhi mu’amalat terlarang.

4. Manfaat yang didapatkan dari arisan ini tidak mengurangi sedikit pun harta orang yang minjam uang dan kadang orang minjam mendapatkan manfaat yang sama atau hampir sama dengan yang lainnya. Sehingga mashlahat (kebaikannya) didapatkan dan akan dirasakan oleh seluruh peserta arisan dan tidak ada seorang pun yang mengalami kerugian atau mendapatkan tambahan manfaat pada pemberi hutangan yang menjadi tanggungan peminjam. Syariat yang suci ini tidak akan mengharamkan kemashlahatan yang tidak berisi kemudharatan.

PENDAPAT YANG RAJIH
Setelah melihat argumentasi para Ulama di atas, penulis buku Jum’iyyah al-Muwadzafin Prof.DR.Abdullah bin Abulaziz al-Jibrin merajihkan pendapat yang membolehkan dengan alasan:

1. Kuatnya argumentasi pendapat ini
2. Lemahnya pendapat yang mengharamkannya, karena:

• Alasan pertama pendapat ini lemah disebabkan arisan tidak termasuk hutang bersyarat, sebagaimana telah diungkapkan oleh pemilik pendapat yang membolehkan.

• Alasan kedua juga lemah karena hutang diperbolehkan walaupun tidak diniatkan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah. Karena hutang pada hakekatnya disyariatkan untuk membantu orang yang membutuhkannya.

• Alasan ketiga juga lemah karena hadits larangan dua jual beli dalam satu akad tidak pas diterapkan pada arisan ini.

3. Pendapat yang membolehkan lebih pas dan sesuai dengan ushul dan kaedah syariat, karena seluruh syariat dibangun di atas dasar “mengambil maslahat dan menolak kemudharatan dan kerusakan”.

Dengan demikian jelaslah hukum Arisan tanpa syarat yang menjadi bentuk pertama ini hukumnya adalah boleh.

HUKUM BENTUK KEDUA YAITU ARISAN DENGAN SYARAT HARUS SEMPURNA SATU PUTARAN
Dalam bentuk yang kedua ini, para Ulama pun berbeda pendapat sama dengan bentuk yang pertama. Pendapat yang mengharamkannya menganalogikan (qiyas) kepada pengahraman bentuk pertama. Sehingga argumentasi seputar pengaharaman bentuk ini sama dengan bentuk yang pertama dengan ditambahkan adanya syarat tambahan syarat manfaat untuk yang menghutangkan. Syarat tambahan itu adalah adanya pihak ketiga atau lebih yang meminjamkan uangnya (dengan membayar iuran arisan tersebut). Ini tidak diperbolehkan karena riba disebabkan adanya tambahan manfaat keuntungan yang didapatkan oleh pemberi hutang.

Pendapat ini dapat dijawab bahwa syarat yang disepakati para Ulama dalam mengaharamkan dan memberlakukan hukum riba pada sesuatu adalah adanya penetapan syarat manfaat berupa keuntungan yang dirasakan dan diperoleh oleh pemberi hutang dari orang yang berhutang hanya karena semata-mata hutang. Dan ini tidak ada dalam bentuk arisan ini; karena manfaat keuntungan yang disyaratkan disini tidak diberikan oleh penghutang sama sekali dan juga manfaat keuntungannya dirasakan oleh semua peserta arisan kecuali yang dapat urutan terakhir karena ia hanya memberikan hutang terus dan tidak berhutang kepada yang lainnya.

Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Abdullah bin Jibrin membolehkan arisan bentuk ini.

PENDAPAT YANG RAJIH
Prof. DR. Abdullah Ali Jibrin setelah meneliti dan menjelaskan argumentasi para Ulama seputar masalah ini, beliau mengatakan,”Belum nampak bagiku adanya faktor yang menyebabkan terlarangnya arisan yang bersyarat seperti ini. Tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan sandaran dalam mengharamkannya. Hukum asal dalam mu’amalat itu halal. Arisan ini memiliki manfaat untuk semua pesertanya tanpa menimbulkan madharat pada salah satu dari mereka. [Jum’iyyah al-Muwadzaffin,hlm 53].

Dengan demikian bentuk kedua inipun diperbolehkan secara syariat.

BENTUK KETIGA BERSYARAT SELURUH PESERTA HARUS MENYEMPURNAKAN LEBIH DARI SEKALI PUTARAN
Hakekat model arisan seperti ini adalah arisan dengan syarat pemberi hutang memberikan syarat kepada orang yang akan berhutang kepada mereka untuk menghutangkan kepadanya di putaran kedua dan seterusnya.

Hukum masalah ini pun berkisar pada masalah bolehkah orang yang menghutangkan sesuatu menetapkan syarat pada yang berhutang untuk memberinya hutangan di waktu yang akan datang dan apakah syarat tersebut memberikan tambahan manfaat keuntungan pada pemberi hutang pertama?

Yang rajih dalam bentuk ini adalah haram, karena ada padanya syarat tambahan manfaat keuntungan untuk yang menghutangkan hanya karena hutang yang pertama tadi.

Demikianlah hukum arisan yang belum mengalami perubahan dan tambahan-tambahan. Sedangkan arisan-arisan yang berkembang dewasa ini, masih harus diteliti kembali kehalalannya dengan melihat sistem yang dibuat dalam arisan tersebut. Apabila sesuai dengan yang telah dijelaskan hakekatnya maka hukumnya adalah yang sudah dijelaskan diatas. Apabila tidak sesuai maka harus diteliti dan dihukumi sesuai dengan system yang diperlakukan dalam bentuk arisan tersebut.

Wallahu a’lam.

(Makalah ini disarikan dari buku Jum’iyyah al-Muwadzdzafin (al-Qardh at-Ta’awuni) karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdulaziz Ali Jibrin, hlm 5-56, terbitan Dar alam al-Fawaid, cetakan pertama/Dzulqa’dah 1419H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Sumber: almanhaj.or.id

19/01/14

TEMAN BERGAUL, CERMINAN DIRI ANDA

Sebenarnya, sangat mudah mengetahui seperti apa cerminan diri Anda. Cukup dengan melihat bersama siapa saja Anda sering bergaul, seperti itulah cerminan diri Anda. Kenyataan ini telah dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ

Seorang mukmin cerminan dari saudaranya yang mukmin [1]

Kalau seorang biasa berkumpul dengan seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.

Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh (jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan bersabda:

الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda (berpisah) [2]

Memilih teman yang baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman [3]

Sudah dapat dipastikan, bahwa seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.

Syaikh 'Abdul Muhsin Al-Qâsim [4] berkata, "Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya. Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْفَخْرُ وَالْخُيَلاَءُ فِي الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

Kesombongan dan keangkuhan terdapat pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan ketenangan terdapat pada pengembala kambing [5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa terpengaruh .… maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat? Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? [6]

Setelah mengetahui betapa pentingnya memilih teman yang baik, di sini akan dipaparkan sifat dan karakter orang yang pantas dijadikan sebagai teman dan sahabat karib. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Berakidah Lurus
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ'ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?

Ya, dalam keadaan terbaring dan menghadapi detik-detik kematian, ada tiga orang yang menyertainya. Mereka adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Jahl dan 'Abdullah bin Abi Umayyah, dua orang terakhir ini adalah tokoh kaum kafir Quraisy. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya dengan berseru, "Paman! Katakanlah lâ ilâha illallâh! Satu kalimat yang akan ku jadikan bahan pembelaan bagimu di hadapan Allah." Dua tokoh kafir itu menimpali, "Abu Thalib! Apakah kamu membenci agama Abdul-Muththalib?"

Tanpa henti, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam "menawarkan" kalimat itu dan sebaliknya mereka berdua juga terus melancarkan pengaruh. Sampai akhirnya Abu Thalib masih enggan mengucapkan lâ ilâha illallâh dan tetap memilih agama Abdul-Muththalib.[7] Ia pun mati dalam kekufuran.

Cobalah lihat buruknya pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hatinya.

2. Bermanhaj Lurus
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid'ah dan ahlul-hawa'. Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, "Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid'ah )."[8]

3. Taat Beribadah Dan Menjauhi Perbuatan Maksiat
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah, pada waktu pagi dan petang, (yang mereka itu) menginginkan wajah-Nya [al-Kahfi/18: 28]

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan, "Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allâh, yang ber-tahlîl (mengucapkan lâ ilâha illallâh), memuji, ber-tasbiih (mengucapkan subhaanallah), bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar) dan memohon pada-Nya di waktu pagi dan petang di antara hamba-hamba Allâh, baik mereka itu orang-orang miskin atau orang-orang kaya, baik mereka itu orang-orang kuat maupun orang-orang yang lemah."

4. Berakhlak Terpuji Dan Bertutur Kata Baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik akhlaknya [9]

Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah berkata, "Kami dulu selalu mengikuti Qais bin 'Ashim. Melalui dirinya, kami belajar kesabaran dan kemurahan hati sebagaimana kami belajar ilmu fikih."[10]

5. Teman Yang Suka Menasehati Dalam Kebaikan
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?

Salah satu ciri orang yang tidak rugi sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla pada surat al-'Ashr, mereka saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri [11]

6. Zuhud Terhadap Dunia Dan Tidak Berambisi Mengejar Kedudukan
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu."[12]

7. Banyak Ilmu Atau Dapat Berbagi Ilmu Dengannya
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.

8. Berpakaian Yang Islami
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, "Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh."[13]

9. Ia Selalu Menjaga Kewibawaan Dan Kehormatan Dirinya Dari Hal-Hal Yang Tidak Layak Menurut Pandangan Masyarakat
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.

Betapa indah ucapan Imam Syâfi'i rahimahullah :

لَوْ أَنَّ اْلمَاءَ اْلبَارِدَ يَثْلَمُ مِنْ مُرُوْءَتِيْ شَيْئًا مَا شَرِبْتُ اْلمَاءَ إلاَّ حَارًّا

Seandainya air yang dingin merusak kewibawaanku (kehormatanku), maka saya tidak akan minum air kecuali yang panas saja [14]

10. Sosok Yang Tidak Banyak Bergurau Dan Meninggalkan Hal-Hal Yang Tak Bermanfaat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara ciri baiknya keislaman seseorang, dia meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat baginya [15]

Memang kelihatannya agak sulit mendapatkan teman ideal sesuai dengan pemaparan di atas. Akan tetapi, dengan idzin Allah Azza wa Jalla kemudian dengan usaha yang kuat serta doa kepada Allah, kita akan mendapatkan orang-orang seperti itu.

Catatan Penting :
Perlu menjadi catatan, melalui keterangan di atas yang menganjurkan mencari teman yang berlatar-belakang baik, bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang-orang di sekitar kita. Bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang kafir, ahlul-bid'ah, orang-orang fasik dan orang-orang berkarakter buruk lainnya. Akan tetapi, pergaulan dengan mereka mesti dilandasi keinginan dan niat untuk mendakwahi dan memperbaiki mereka.

Dalam masalah ini, kita harus melihat dan mempertimbangkan sisi kemaslahatan (kebaikan) dan madharat (bahaya) yang akan terjadi pada diri kita dan orang orang lain di sekitar kita pada saat kita bergaul dengan mereka. Jika pergaulan kita dengan mereka mendatangkan manfaat yang besar bagi mereka, maka kita boleh bergaul dengan mereka. Begitu pula sebaliknya, jika tidak mendatangkan manfaat tetapi justru mendatangkan bahaya, maka bergaul dengan mereka menjadi perkara larangan.

Simaklah keterangan Syaikh Muhammad al-'Utsaimîn rahimahullah berikut, "Jika di dalam pergaulan dengan orang-orang fasik menjadikan sebab datangnya hidayah baginya, maka tidak mengapa berteman dengannya. Engkau bisa undang dia ke rumahmu, kamu datang ke rumahnya atau kamu jalan-jalan bersamanya, dengan syarat tidak mengotori kehormatan dirimu dalam andangan masyarakat. Betapa banyak orang-orang fasik mendapatkan hidayah dengan berteman dengan orang-orang yang baik."[16]

Di tengah masyarakat, jika Anda tidak memilih teman yang baik, maka tinggal pilih; Andakah yang akan mempengaruhi orang-orang untuk menjadi lebih baik atau Andakah menjadi korban pengaruh buruk lingkungan (kawan-kawan) Ingat! Tidak ada pilihan yang ketiga.

Wallâhul muwaffiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR al-Bukhâri (al-Adabul -Mufrad no. 239) dan Abu Dâwud no. 4918 (ash-Shahîhah no. 926)
[2]. HR al-Bukhâri no. 3336 dan Muslim no. 6708
[3]. HR Abu Dâwud no. 4833 dan at-Tirmidzi no. 2378. (ash-Shahîhah no. 927)
[4]. Beliau adalah imam Masjid Nabawi dan hakim di Mahkamah Syariah Madinah.
[5]. HR. al-Bukhâri no. 3499 dan Muslim no. 187
[6]. Khuthuwât ila as-Sa'âdah hlm. 141
[7]. Lihat al-Bukhâri no. 1360, Muslim no. 131 dan an-Nasâ'i no.2034
[8]. Asy-Syarî'ah, Imam al-Ajurri hlm. 61 dan al-Ibânah al-Kubrâ, Imam Ibnu Baththah (2/ 438). Nukilan dari Mauqif Ahlis Sunnah wa Jjamâ’ah min Ahlil hawâ' wal Bida', DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili (2/535)
[9]. HR Abu Dâwud no. 4682 dan at-Tirmidzi no.1163. (ash-Shahîhah no. 284)
[10]. Al-'Afwu wa al-A'dzâr, Ibni ar-Raqqâm. Nukilan dari Sû'ul Khuluq, Muhammad Ibrâhîm al-Hamd hlm. 134
[11]. HR. al-Bukhâri no. 13, Muslim no. 40 , an-Nasâ'i no. 5031, at-Tirmidzi no. 2515 dan Ibnu Mâjah no. 66
[12]. HR Ibnu Mâjah no. 4102 (ash-Shahîhah no.944)
[13]. At-Ta'lîquts Tsamîn 'ala Syarhi Ibni al'Utsaimîn li Hilyati Thalabil 'Ilmi hlm. 107
[14]. Manâqib asy-Syâfi'I, Imam ar-Râzy hlm. 85. Nukilan Ma'âlim fi Tharîq Thalabil'ilmi hlm. 166
[15]. Hadits shahîh riwayat at-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Mâjah no. 3976
[16]. At-Ta'lîquts Tsamîn 'ala Syarhi Ibni al'Utsaimîn li Hilyati Thalabil 'Ilmi hlm. 24

Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc
Sumber: almanhaj.or

Rahasia Bisnis Pengusaha

 

© 2013 Manhaj. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top