Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajak bicara akal, hati, perasaan
dan jiwa, akhlak dan pendidikan. Agama yang mulia ini menggariskan
adanya peraturan-peraturan agar seorang muslim dapat memiliki hati yang
selamat, perasaan yang bersih, menjaga kehormatan lisan, dan menjaga
rahasia pribadinya, serta dapat berakhlak mulia terhadap Rabb-nya,
dirinya dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain. [al Hujurat/49 : 12].
Pesan al Qur`an ini, merupakan jawaban atas fenomena yang kita lihat
saat ini. Yakni, agar kita terhindar dari perbuatan ghibah
(menggunjing), mencari-cari kesalahan orang lain. Karena menggunjing ini
dapat menyebabkan terlanggarnya kehormatan, keselamatan hati dan
ketenangan di masyarakat. Perbuatan menggunjing, merupakan salah satu
dosa besar yang membinasakan, merusak agama para pelakunya, baik sebagai
pelaku ataupun orang yang rela ketika mendengarkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al Qur`an :
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ
لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [al
Hujurat/49 : 12].
Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah,
yang semuanya disebutkan al Qur`an. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan.
Apabila yang Anda sebutkan tentang saudara Anda itu ada padanya, maka
inilah ghibah. Apabila Anda menyampaikan semua yang Anda dengar, maka
ini adalah ifku. Dan apabila yang Anda sebutkan tidak ada pada diri
saudaramu, maka ini adalah buhtan.
Ghibah (menggunjing) adalah, setiap yang dapat dipahami dengan maksud
penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini,
juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi
fisik, akhlak, harta dan keturunannya. Barangsiapa yang mencela ciptaan
Allah, berarti ia telah mencela penciptanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ
لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ
فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ
وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum
masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum
Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang
mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan
barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan
membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.
Tentang bahaya menggunjing ini, al Hasan berkata : “Ghibah, demi Allah,
lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh
mayit”.
Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai ahlul haq dan
ahlul iman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing),
sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah
Ta’ala mengingatkan :
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? [al Hujarat/49 : 12].
Seburuk-buruk ghibah, yaitu menggunjing para pemimpin, para ulama,
orang-orang berkedudukan, orang-orang shalih, dan orang yang mengajak
berbuat adil. Pelaku ghibah ini telah mencabik-cabik kehormatan
orang-orang terpandang yang memiliki kedudukan. Pelaku ghibah ini juga
merendahkan kedudukan mereka, menghilangkan kewibawaan mereka,
menghilangkan kepercayaan terhadap mereka, mencela perbuatan dan usaha
mereka, dan meragukan kemampuan mereka.
Bayangkan, tidak disebut seorang yang mulia di hadapannya, kecuali
direndahkannya. Tidaklah muncul seorang yang mulia, kecuali dicelanya.
Tidak pula orang shalih, kecuali dia akan menuduhnya. Pelaku ghibah ini,
senang menuduh orang-orang terpercaya, menggunjing orang-orang shalih.
Pelaku ghibah menanamkan permusuhan dan membingungkan orang-orang
kebanyakan, memutuskan silaturahmi dan memecah persatuan.
Allahu Akbar! Apakah seorang muslim layak bersikap demikian kepada saudaranya?
Wahai pelaku ghibah! Setiap orang pasti dicintai dan dibenci, diridhai dan dimarahi, disukai dan dimusuhi.
Orang yang berakal, dalam mencintai kekasihnya, ia tidak akan berbuat
secara berlebihan; sebab, mungkin suatu hari orang yang dikasihinya
tersebut akan dibencinya. Sebaliknya, manakala seorang muslim harus
membenci, maka dia pun bersikap sewajarnya; sebab, mungkin suatu hari
orang yang dibencinya akan menjadi kekasihnya. Oleh karena itu, jadilah
orang yang selalu menegakkan kebenaran dan bersikap adil. Jangan sampai
ketidak-sukaan membuatmu bersikap zhalim. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا
تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. [al Maidah/5 : 8].
Jika dikatakan kepada Anda : “Fulan telah meggunjingmu, sampai kami
merasa kasihan kepadamu”. Maka jawablah dengan perkataan : “Seharusnya,
dialah yang seharusnya engkau kasihani”.
Bertakwalah kita kepada Allah. Sungguh beruntung orang yang bisa menahan
diri, tidak berlebihan dalam berbicara. Sungguh beruntung orang yang
bisa menguasai lisannya. Sungguh beruntung orang yang terhindar dari
menggunjing orang lain, karena ia mengetahui yang ada pada dirinya.
Sungguh beruntung orang yang berpegang dengan petunjuk al Qur`an,
kemudian menghadap Allah dengan hati yang khusyu’, lisan yang jujur, dan
ikhlas mencintai saudaranya.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا
رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. [al
Hasyr/59 : 10].
Kami mengingatkan kembali, hendaklah kita jauhi perbuatan ghibah atau
menggunjing orang lain. Ketahuilah, orang yang mendengarkan ghibah, ia
mendapatkan dosa yang sama seperti pelakunya. Sehingga orang yang
mendengarkan ghibah tidak selamat dari dosa, kecuali jika ia mengingkari
dengan lisannya, atau dengan hatinya. Apabila bisa, hendaklah ia
tinggalkan majelis atau tempat tersebut, atau memutusnya dengan
mengalihkan kepada pembicaraan yang lain. Karena, orang yang diam ketika
mendengar ghibah, maka ia termasuk bergabung dengan pelakunya. Sehingga
Ibnu Mubarak mengingatkan: “Pergilah dari orang yang menggunjing,
sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”.
Setiap orang memiliki cacat dan aib, kesalahan dan kekeliruan. Oleh
karena itu, kita jangan merasa mengetahui apa yang tidak diketahui orang
lain. Daripada mengurusi aib orang lain, mengapa kita tidak menyibukkan
diri dengan aib sendiri? Jagalah hak dan kehormatan saudaramu! Dalam
sebuah hadits dinyatakan :
مَنْ ذَبَّ عَنْ لَحْمِ أَخِيهِ بِالْغِيبَةِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُعْتِقَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang membela daging (kehormatan) saudaranya dari ghibah,
maka menjadi hak Allah untuk membebaskannya dari api Neraka. [1]
وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
Barangsiapa yang berkata tentang seorang mu`min yang tidak ada padanya,
(maka) Allah akan menempatkannya pada lumpur ahli Neraka, sampai dia
keluar dari apa yang dia ucapkan.[2]
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا
فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ
لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ
مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Barangsiapa berbuat kezhaliman terhadap saudaranya (orang lain),
hendaklah dia meminta maaf atas kezhalimannya. Karena (pada hari
Kiamat), di sana tidak ada dinar (dan) tidak pula dirham sebagai
penebusnya, sebelum diambil kebaikan dari dirinya untuk saudaranya
tersebut. Apabila dia tidak memiliki kebaikan, maka diambillah kejelekan
saudaranya tersebut dan dilimpahkan kepadanya.
(Diangkat dari Khuthbah Jum’at Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid, di Masjid al Haram, Makkah al Mukarramah)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad dengan sanad hasan dan dinilai Syaikh al Albani sebagai
hadits shahih li ghairihi di dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib, no.
2847.
[2]. HR Abu Dawud, dan dinilai shahih oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib, no. 2845.
Sumber : Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid-almanhaj.co.id
16/01/14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar